H ari-hari ini, kesibukan orangtua bertambah satu lagi:
mencari dan memasukkan anak ke Taman Kanak-kanak alias TK. TK seperti apa, sih,
yang bagus untuk anak?
"Anak saya sudah 4 tahun.
Rencananya tahun ini mau saya sekolahkan. Tapi di mana, sih, TK yang
bagus?" Bingung! Umumnya itu yang dialami para orangtua saat hendak
menyekolahkan anaknya. Jangankan mereka yang belum berpengalaman. Yang sudah
berpengalaman menyekolahkan anaknya pun, masih sering bingung, kok!
Tapi itu wajar, kok. Maklum,
orangtua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Termasuk soal
pendidikan/sekolah. Apalagi menentukan si anak akan masuk TK mana. Soalnya,
biasanya TK merupakan "sekolah" yang pertama bagi anak. "Kalau
di TK saja anak sudah punya pengalaman jelek, bisa-bisa dia mogok sekolah
selamanya," begitu alasan orangtua. Apalagi, jika anak tak memperoleh apa
yang seharusnya ia terima selama di TK, orangtua cemas, anaknya mengalami
kesulitan saat masuk Sekolah Dasar (SD).
BERMAIN SAMBIL BELAJAR
Jadi, TK macam apa yang harus
dipilih? Pilihannya terlalu beragam. Masing-masing TK menawarkan fasilitas yang
menggiurkan. Tentu saja dengan konsekuensi biaya yang lebih tinggi. Toh,
orangtua cenderung melupakan soal biaya dan tetap mengejar kelengkapan
fasilitas yang disediakan TK.
Padahal, kelengkapan fasilitas bukan
faktor yang paling menentukan. Program kegiatan belajar, materi pembelajaran,
dan seperti apa guru-gurunya, seharusnya juga jadi bahan pertimbangan bagi
orangtua. Untuk metoda, menurut Laurentia Tridjaja yang sudah 23 tahun
menjadi kepala TK, "Pilih yang lebih banyak menerapkan metode bermain
sambil belajar ketimbang yang mengajar secara klasikal." Bermain, kata
Laurentia, merupakan cara belajar yang paling efektif. Sebab, dunia anak adalah
dunia bermain. Lewat bermain, anak bukan hanya bisa mengembangkan otot-ototnya,
baik otot besar maupun otot halus seperti perkembangan motorik kasar dan halus,
tapi juga bisa berfantasi dan mengekspresikan diri.
Lewat bermain pula, sambung
Laurentia, anak juga bisa berkomunikasi satu dengan lainnya, bersosialisasi,
dan kelak dapat bermasyarakat. "Jadi, bermainnya harus yang punya arti
buat anak. Dia bisa mengembangkan imajinasinya, selain bisa melihat bagaimana,
sih, dunia yang sesungguhnya. Dia bisa memahami keberadaan di lingkungannya
bahwa ia tak sama dengan anak lain, bisa mengikuti peraturan, tata tertib dalam
bermain, dan disiplin-disiplin yang diberikan," terang mantan Kepala TK
Strada Tamansari, Jakarta Barat ini.
Keunggulan lain metoda bermain
sambil belajar adalah seluruh aspek pancaindera anak dipakai dan dikembangkan
dalam bermain. Bagaimana pengamatan dia, penciumannya, perabaannya, dan
lainnya. "Jangan salah, lo, di TK juga ada pengajaran mengenalkan anak
pada bermacam-macam bau sehingga ia bisa membedakan bau minyak kayu putih,
jahe, dan lainnya. Jadi, di rumah, ia tahu soal bumbu dapur, misalnya,"
sambung Laurentia.
SAMBIL CERITA
Nah, semua itu, kata Laurentia,
sesuai dengan tujuan pendidikan di TK. Yakni, membantu meletakkan dasar ke arah
perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, serta daya cipta yang diperlukan
anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan
serta perkembangan selanjutnya. "Jadi, orangtua jangan berharap bahwa di
TK itu anaknya nanti diajari baca-tulis dan matematika seperti di SD. Tidak.
Karena TK bukan SD mini. Yang kita lakukan adalah pembentukan perilaku melalui
pembiasaan-pembiasaan dan peningkatan kemampuan dasar," terang mantan
Kepala TK Strada St. John Berchmans, Jakarta Pusat ini.
Contoh pembiasaan, lanjutnya, antara
lain Akhlak, agama, disiplin, perasaan atau emosi, dan kemampuan bermasyarakat.
"Jadi, melalui pembiasaan ini, anak dievaluasi bagaimana emosinya,
bagaimana dia bermain di dalam kelompoknya atau kemampuan
bersosialisasinya," jelas Laurentia. Sementara melalui peningkatan kemampuan
dasar, anak dikembangkan bidang bahasa dan daya pikirnya.
Karena itu, metoda pembelajarannya
tak melulu secara klasikal di mana guru berdiri di depan kelas sambil
menerangkan sesuatu. Sebaliknya, dilakukan dengan cara bercakap-cakap,
bercerita dengan menggunakan macam-macam gambar besar, story reading ,
gambar seri, sandiwara boneka, dan sebagainya. Anak juga diberi tugas atau
praktek langsung semisal menirukan suara binatang tertentu atau cara berjalan
si binatang. "Atau tugas yang berfungsi mengembangkan daya cipta seperti
melukis, melipat, menggunting, dan sebagainya," kata lulusan SPG-TK St.
Maria Jakarta ini.
Meski semua itu dilakukan sambil
bermain, tuturnya lebih lanjut, "Bukan asal bermain saja melainkan bermain
yang kreatif dan menyenangkan anak. Juga dilengkapi alat peraga sehingga anak
jadi lebih mempunyai minat dan lebih tertarik." Alat peraga, tuturnya,
diperlukan karena anak usia TK belum mampu berpikir abstrak. "Kalau kita
mengajarkan suatu benda, harus diperlihatkan bendanya," tukas Laurentia.
KONSEP RUANG
Masih menurut Laurentia, yang
pertama-tama perlu dikembangkan pada anak prasekolah ialah konsep ruang.
Misalnya, di dalam dan di luar. Itu pun ada alat peraganya, misalnya kotak dan
bola. Guru memasukkan bola ke dalam kotak, lalu mengeluarkannya sambil
memberikan penjelasan dengan bahasa yang dimengerti anak. "Konsep tata
letak kiri dan kanan juga harus diajarkan. Ini bisa diajarkan dalam berbaris.
Si A sekarang barisnya di depan siapa, lalu si B di belakangnya siapa. Si C di
samping kirinya siapa, dan sebagainya. Dengan cara ini, anak, selain mengenal
temannya lebih dekat, juga dia tahu letak posisi," papar Laurentia.
Konsep tata letak, lanjutnya, sangat
berguna untuk anak belajar menulis nantinya. Sebab, dalam menulis, anak pun
harus tahu tata letaknya. Misal, menulis huruf b, perutnya harus ada di sebelah
kanan dari garisnya. Atau menulis angka 3. "Sering terjadi, anak tak tahu
menulis angka 3. Ada yang menulisnya dalam posisi tidur, bahkan ada yang
menulisnya ke kanan seperti huruf E," tambahnya.
Jadi, tandas Laurentia, meski
pembelajarannya bukan bersifat kognisi yang mementingkan baca-tulis dan
menghitung, tapi tetap berguna untuk perkembangan kognisi anak nantinya. Sebab,
"Itu semua merupakan dasar untuk perkembangan selanjutnya," tandas
Sarjana Pendidikan jurusan Psikologi Pendidikan & Bimbingan dari
Universitas Atmajaya Jakarta ini. "Jika anak sudah paham betul letak
posisi, saya rasa akan dapat menghindarkan dia dari menulis terbalik dan
sebagainya. Tentu pengajarannya harus berulang-ulang, nggak bisa hanya sekali
diajari terus anak langsung mengerti," katanya lagi.
Namun begitu, perlu pula
diperhatikan orangtua, apakah TK tersebut juga melihat potensi perkembangan
anak secara individual atau tidak. Misalnya, di kelas ada seorang anak yang
tingkat kecerdasannya di atas rata-rata atau malah sebaliknya. "Untuk
anak-anak seperti ini tentunya perlu penanganan khusus. Maksudnya, kita tak
boleh menyamaratakan dengan teman-temannya yang lain, karena potensinya
berbeda. Jadi, kita harus betul-betul melihat atas keunikan masing-masing anak
dan itu harus dijalankan secara individual," terang Laurentia.
HARUS KERJASAMA
Oleh sebab itu, sambungnya, guru
sangat berperan di TK. "Kalau gurunya tak kreatif, tak bisa menciptakan
situasi belajar-mengajarkan yang menyenangkan, anak tak akan tertarik dan
proses pembelajaran pun jadi tidak optimal," katanya. Kendati demikian,
lanjutnya, "Kita tak bisa mengatakan, sekolah itu bagus karena
guru-gurunya 'hebat'. Sebetulnya, yang membuat si guru 'hebat' adalah bagaimana
dia bisa berkomunikasi dengan orangtua. Jadi, harus ada kerjasama antara guru
dan orangtua."
Laurentia mengingatkan, anak berada
di "sekolah" hanya beberapa jam. "Waktu yang paling lama adalah
di rumah. Jadi, apa yang sudah diajarkan pihak TK, disiplin yang sudah
diajarkan, tata tertib, pembiasaan yang baik, dilanjutkan di rumah,"
katanya. Baik juga bila pengasuh anak diajak kerjasama. Apalagi jika kedua
orangtua bekerja dari pagi dan baru pulang sore atau malam, sehingga anak lebih
banyak bersama pengasuhnya. "Pentingnya kerja sama ini bukan hanya sampai
ke orangtua tapi juga pengasuh," tandasnya.
Pendek kata, tegas Laurentia,
"Sebagus apa pun TK, jika tak ada kerjasama yang baik dengan orangtua,
hasilnya tak akan optimal seperti yang kita harapkan. Kalau anak pintar tapi
emosinya kurang baik, kan, tak seperti yang kita harapkan. Karena kita bukan
hanya mengembangkan kognisi anak tapi juga bagaimana agar anak tahu aturan,
berelasi dengan teman-temannya, bersosialisasi dengan baik, bisa
mengekspresikan dirinya."
Ia juga mengingatkan, orangtua tak
bisa sepenuhnya mengandalkan sekolah. Sebab, sekolah sebenarnya hanya membantu
orangtua dalam mendidik anak. "Tetap kita, sebagai ayah dan ibu, adalah
pemeran utama dalam mendidik anak!" tegasnya.
Masalah Jarak Rumah Ke TK
Perjalanan yang jauh membuat anak
lelah. Ini akan berpengaruh pada emosinya. Ia jadi mudah tersinggung dan marah,
yang tentunya bisa berakibat buruk dalam hubungannya dengan teman-temannya. Ia
pun tak bisa mengikuti program pembelajaran dengan optimal.
Selain itu, jarak yang terlalu jauh
membuat jadwal harian anak harus berubah. Ia harus tidur lebih sore karena
esoknya harus bangun pagi-pagi sekali. Waktu tidur siangnya juga berubah. Di
"sekolah", ada kemungkinan ia akan mengantuk dan ini berarti akan
mengganggunya dalam mengikuti berbagai kegiatan.
Belum lagi jika terjadi kemacetan di
perjalanan, yang berarti jadwal hariannya kembali berubah. Orangtua perlu
melengkapi anak dengan bekal makan siang, baju ganti, mainan, dan sebagainya.
Pendeknya, orangtua tambah repot, anak pun semakin jauh dari rasa happy
.
Sudah Siapkah Si Kecil
Faktor kesiapan anak cukup
berpengaruh terhadap "keberhasilan"nya selama menjalani proses
belajar di TK. Selain dari segi usia memang sudah waktunya, si kecil pun harus
sudah berkurang ketergantungannya pada orang lain, terutama pada orangtua. Bila
tidak, bisa setiap hari Anda harus menungguinya dan bahkan menemaninya di dalam
kelas.
Padahal, tak setiap TK membolehkan
anak ditunggui dan ditemani seperti itu. Kalaupun boleh, hanya selama beberapa
hari pertama saja. Selanjutnya, anak sudah harus masuk sendiri ke dalam kelas
dan bergabung dengan teman-temannya sekelas.
Selain itu, tambah Laurentia
Tridjaja , juga harus ada minat dari si anak sendiri untuk
"sekolah". Nah, tugas orangtua untuk memotivasi anak agar tumbuh
minatnya terhadap "sekolah". Antara lain dengan memberikan masukan
positif tentang "sekolah". Misalnya, si kecil tertarik saat melihat
gambar seorang pilot lalu mengatakan ingin jadi pilot. Orangtua bisa
mengatakan, "Kalau kamu mau jadi pilot, kamu harus sekolah. Kalau di rumah
saja, nggak bisa."
Kendati demikian, Laurentia
mengingatkan, "TK sebetulnya bukan prasyarat untuk masuk SD. Jadi tak
apa-apa kalau anak tidak dimasukkan ke TK." Hanya saja, memang ada bedanya
antara anak yang masuk TK dan tidak. "Anak yang masuk TK biasanya sudah
biasa ditanamkan sosialisasi yang baik. Keuntungan lain, dia jadi lebih bisa
mengendalikan diri karena sudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, tak
terlalu egois lagi. Dia bisa belajar berbagi. Kemandiriannya juga
terbantu," terangnya.
Namun begitu, kita sebenarnya juga
tak perlu cemas jika karena sesuatu hal si kecil tak dapat masuk TK. Sebab,
kata Laurentia, "Sebenarnya semua itu bisa diterima anak di rumah asalkan
orangtua mau mengajarinya."
Julie Erikania
Sumber : http://www.tabloidnova.com/Nova/Tips/Tips-Memilih-TK-Yang-Tepat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar